LLDikti Wilayah III

Pencegahan & Penanganan
Kekerasan Seksual​

PERATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL

Beberapa peraturan yang dapat diunduh dan dipelajari terkait tentang upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi

Permen No. 30
Tahun 2021

Tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Persesjen No. 17 Tahun 2022

Tentang
Pedoman Pelaksanaan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

Permen No. 46 Tahun 2023

Tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan

Undang-Undang No. 12 Tahun 2022​

Tentang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual​

Perpres No. 9 Tahun 2024​

Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual​

Keputusan Dirjen Diktiristek No. 212/E/KPT/2022​

Tentang
Petunjuk Teknis Pemeriksaan Ulang Dalam Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi Akademik​

Keputusan Dirjen Diktiristek No. 113/D/M/2022​

Tentang
Petunjuk Teknis Pemeriksaan Ulang Dalam Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi Vokasi

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL

Buku Panduan

Tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Buku Pedoman Pelaksanaan Permen No. 30 Tahun 2021

Tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Panduan Restore Modul

Tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL

  • Merumuskan kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
  • Membentuk Satgas PPKS yang sesuai dengan ketentuan dalam Permendikbudristek PPKS.
  • Menyusun pedoman/POS PPKS.
  • Pembatasan pertemuan civitas akademika di luar waktu operasional dan di luar area perguruan tinggi. Tata cara pembaasan diatur melalui surat edaran perguruan tinggi.
  • Menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual.
  • Melatih mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
  • Sosialisasi pedoman PPKS secara lain: Memasang tanda informasi yang berisi: Pencantuman layanan aduan kekerasan seksual, dan peringatan bahwa perguruan tinggi tidak menoleransi kekerasan seksual.
  • Perbanyak diskusi atau kegiatan-kegiatan positif yang menyentuh isu-isu Hak Asasi Manusia, relasi kekuasaan, perspektif disabilitas, dan anti kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan seksual serta mendorong kolaborasi antara dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa dalam penyelenggaraan diskusi tersebut.
  • Perbanyak sosialisasi dan pelatihan di kampus mengenai langkah-langkah anti kekerasan seksual.
  • Perkenalkan Satgas PPKS yang memiliki fungsi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kepada mahasiswa saat orientasi mahasiswa baru dan pada perkenalan awal mata kuliah disetiap semester.
  • Terapkan hubungan yang sehat dan setara dengan mahasiswa dan sesama dosen/tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi, baik di dalam maupun luar kampus.
  • Perbanyak diskusi atau kegiatan-kegiatan positif yang menyentuh isu-isu Hak Asasi Manusia, relasi kekuasaan, perspektif disabilitas, dan anti kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan seksual.
  • Ikuti sosialisasi di kampus mengenai langkah-langkah anti kekerasan seksual.
  • Cari tahu tentang Satgas PPKS di perguruan tinggi.
  • Terapkan hubungan yang sehat dengan dosen dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi, baik di dalam maupun luar kampus.

PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL

Pendampingan

Kegiatan pendampingan diberikan sejak Satgas PPKS menerima laporan dugaan kekerasan seksual dari korban, saksi, atau pendamping dalam menyediakan salah satu atau beberapa bentuk akses yang meliputi:

  1. Konseling oleh konselor, psikolog, atau psikiater;
    Layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan;
  2. Bantuan hukum oleh advokat atau pengacara;
  3. Advokasi oleh pendamping yang dipercayai korban atau saksi; dan/atau
  4. Bimbingan sosial dan rohani oleh pemuka agama, pimpinan adat, orang tua/wali, atau pendamping yang dipercayai korban atau saksi.

Dalam memberikan pendampingan, Satgas PPKS harus memperhatikan pemenuhan kebutuhan korban atau saksi dengan disabilitas, seperti:

  1. Juru bahasa isyarat Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia); dan/atau
  2. Pendamping lain dari unit yang memiliki tugas dan fungsi pemberian layanan disabilitas di dalam atau di luar perguruan tinggi.

Bentuk pendampingan korban atau saksi hanya diberikan sesuai dengan persetujuan korban atau saksi. Bagi korban atau saksi anak atau disabilitas, pemberian persetujuan dapat dilakukan melalui orang tua/wali, keluarga, atau orang dewasa yang dipercaya oleh korban atau saksi. Oleh karena itu, dalam hal ini, Satgas PPKS harus memperoleh persetujuan dari wali/orang tua atau pendamping korban untuk memberikan bentuk pendampingan yang sesuai.

Pelindungan​

Jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan
Pimpinan Perguruan Tinggi wajib melindungi Mahasiswa yang menjadi Korban atau saksi laporan dugaan Kekerasan Seksual dari ancaman drop out, pencabutan beasiswa, atau hambatan lainnya dalam perkuliahan akibat laporannya kepada Satgas PPKS.

Jaminan keberlanjutan pekerjaan
Pimpinan Perguruan Tinggi wajib melindungi Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan yang menjadi Korban atau saksi laporan dugaan kekerasan seksual dari ancaman mutasi, pemberhentian, pengurangan hak-hak kerja, atau hambatan lainnya dalam pekerjaannya di Perguruan Tinggi akibat laporannya kepada Satgas PPKS.

Jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik
Pimpinan Perguruan Tinggi harus menindak tegas pihak-pihak yang mengancam Korban atau saksi atas laporannya kepada Satgas PPKS. Satgas PPKS dapat berkoordinasi dengan pihak eksternal untuk memberikan perlindungan maksimal kepada Korban atau saksi.

Pelindungan atas kerahasiaan identitas

  1. Identitas Korban atau saksi serta pihak-pihak yang terkait dalam laporan Kekerasan Seksual sejak laporannya diterima Satgas PPKS; dan
  2. Informasi kasus yang sedang berjalan.

Pimpinan Perguruan Tinggi memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang membuka identitas Korban atau saksi kekerasan seksual tanpa persetujuan mereka.

Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan
Satgas PPKS memberikan informasi lengkap tentang hak korban/saksi, mekanisme penanganan, pemulihan, risiko, dan rencana mitigasi sejak laporan diterima.

Pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum
Pimpinan Perguruan Tinggi dan Satgas PPKS wajib melindungi Korban dan mengutamakan kepentingan terbaiknya. Hal ini termasuk saat berhadapan dengan pihak-pihak yang merendahkan, menyalahkan, dan mengintimidasi Korban. Pimpinan Perguruan Tinggi dapat melaporkan keberatan kepada pimpinan lembaga penegak hukum yang melakukan tindakan tersebut.

Pelindungan dari laporan atau tuntutan pidana
Pimpinan Perguruan Tinggi dapat meminta bantuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jika Korban menghadapi tuntutan pidana dari terlapor atau pihak lain. Satgas PPKS bertugas berkoordinasi dengan instansi terkait untuk melindungi Korban, saksi, dan/atau Satgas PPKS yang dilaporkan secara pidana terkait kasus Kekerasan Seksual.

Pelindungan dari gugatan perdata
Pimpinan Perguruan Tinggi harus memfasilitasi pendampingan hukum bagi Korban, saksi, dan/atau Satgas PPKS yang menghadapi permasalahan hukum berupa gugatan perdata terkait laporan Kekerasan Seksual yang diterima oleh Satgas PPKS.

Penyediaan rumah aman
Pimpinan Perguruan Tinggi dan Satgas PPKS dapat berkoordinasi dan meminta bantuan instansi terkait seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) setempat, atau berkoordinasi dengan Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) di Dinas Sosial Kabupaten/Kota atau lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam memfasilitasi Korban yang memerlukan rumah aman.

Pelindungan atas keamanan dan bebas dari ancaman
Pimpinan Perguruan Tinggi harus menindak tegas pihak-pihak yang mengancam Korban atau saksi atas laporannya kepada Satgas PPKS. Satgas PPKS dapat berkoordinasi dengan pihak eksternal untuk melindungi Korban atau saksi.

Perguruan tinggi yang mendapat ancaman/gugatan akibat tindakan atau keputusan yang berdasarkan Permendikbudristek PPKS dapat meminta pendampingan dari layanan/lembaga bantuan hukum terkait, baik yang tersedia di internal perguruan tinggi maupun pihak eksternal lainnya. Dalam situasi ketika satuan tugas ataupun pemimpin perguruan tinggi tidak memperoleh bantuan hukum yang mencukupi, Satgas PPKS ataupun pimpinan perguruan tinggi dapat meminta fasilitas advokasi (litigasi/non-litigasi) ke Biro Hukum Kemendikbudristek melalui pos-el (e-mail) ke birohukum@kemdikbud.go.id.

Pengenaan Sanksi Administratif

Sanksi administratif dapat dijatuhkan kepada individu terlapor, pimpinan perguruan tinggi ataupun institusi perguruan tinggi. Pengenaan sanksi administratif merupakan syarat penanganan laporan kekerasan seksual yang baik untuk hasil pemeriksaan Satgas PPKS yang menunjukkan terlapor terbukti telah melakukan kekerasan seksual terhadap korban.

Pemberian sanksi kepada pelaku/terlapor
Sanksi administratif yang diberikan kepada individu pelaku/terlapor yang terbukti melakukan kekerasan seksual digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu ringan, sedang, dan berat.
a. Ringan: Teguran tertulis, pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal perguruan tinggi atau media massa cetak dan/atau elektronik.

b. Sedang:
Mahasiswa
a) Penundaan mengikuti perkuliahan (skors);
b) Pencabutan beasiswa;
c) Pengurangan hak lain.
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
a) Pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan;
b) Pengurangan tunjangan kinerja sesuai peraturan perundang-undangan atau
c) Pengurangan hak lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Warga Kampus
Pelarangan sementara aktivitas di perguruan tinggi.

c. Berat:
Mahasiswa
Pemberhentian tetap.
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pemberhentian tetap sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Warga Kampus
a) Pencabutan izin beraktivitas di perguruan tinggi; dan/atau
b) Pemutusan hubungan kerja sama dalam pelaksanaan tridarma pendidikan.

Setelah menyelesaikan sanksi administratif ringan atau sedang, terlapor yang telah terbukti melakukan kekerasan seksual wajib mengikuti program konseling di lembaga yang ditunjuk oleh Satgas PPKS untuk dapat kembali berkuliah atau bekerja di perguruan tinggi. Intensitas konseling berdasarkan rekomendasi konselor, psikolog, atau ahli. Pembiayaan program konseling dibebankan pada pelaku. Laporan hasil program konseling menjadi dasar bagi pemimpin perguruan tinggi untuk menerbitkan surat keterangan bahwa pelaku telah melaksanakan sanksi yang dikenakan dan dapat kembali berkegiatan di perguruan tinggi.

Pemberian sanksi kepada pimpinan perguruan tinggi
Dalam hal pimpinan perguruan tinggi tidak melaksanakan kewajiban memberi laporan hasil pemantauan dan evaluasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tingginya kepada menteri, akan dikenai sanksi administratif berupa:
a) Teguran tertulis bagi pimpinan perguruan tinggi; atau
b) Pemberhentian dari jabatan bagi pimpinan perguruan tinggi.

Menteri dapat sewaktu-waktu memantau pencegahan dan penanganan kekerasan seksual secara langsung dalam hal terjadi kekerasan seksual:
a) Skala berat, apabila melibatkan tindakan perkosaan dan/atau eksploitasi seksual;
b) Kondisi korban kritis, apabila korban yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, atau tenaga kependidikan berada dalam perawatan intensif rumah sakit dan/atau berupaya menyakiti diri atau bunuh diri akibat kekerasan seksual yang dialaminya;
c) Korban berada di wilayah negara berbeda atau lintas yurisdiksi, apabila melibatkan terlapor dan/atau korban yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, atau tenaga kependidikan perguruan tinggi Indonesia dalam sebuah laporan kekerasan seksual;
d) Melibatkan pelaku yang kedudukannya tinggi, apabila terlapor dan/atau korban berstatus sebagai guru besar, dekan, wakil rektor, rektor, direktur, dan/atau posisi tinggi atau strategis lainnya.

Pemberian sanksi kepada perguruan tinggi
Setiap perguruan tinggi wajib melaksanakan Permendikbudristek PPKS. Perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dijatuhi sanksi administratif berikut:
a) Penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi; dan/atau
b) Penurunan tingkat akreditasi perguruan tinggi.

Pemulihan Korban

Agar korban dapat mengikuti pendidikan dan melaksanakan pekerjaan dengan optimal, pimpinan perguruan tinggi harus memastikan korban mendapatkan pemulihan kondisi psikologis dan/atau fisiknya sesuai dengan persetujuan korban, dalam bentuk:

  1. Tindakan medis;
  2. Terapi fisik;
  3. Terapi psikologis; dan/atau
  4. Bimbingan sosial dan rohani.

Pimpinan perguruan tinggi melalui Satgas PPKS melakukan pemulihan korban sesuai dengan persetujuan korban yang mengacu pada Permendikbudristek PPKS dengan melibatkan beberapa individu di dalam atau di luar perguruan tinggi, antara lain:

  1. Dokter/tenaga kesehatan lain;
  2. Konselor;
  3. Psikolog;
  4. Tokoh masyarakat;
  5. Pemuka agama; dan/atau
  6. Pendamping lain sesuai kebutuhan termasuk kebutuhan korban disabilitas.

Pimpinan perguruan tinggi perlu memberikan pemulihan korban sesuai uraian dalam rekomendasi Satgas PPKS yang sudah mendapat persetujuan korban. Dalam beberapa kasus, pelapor kekerasan seksual bisa jadi merupakan saksi yang mengalami stres traumatis sekunder (secondary traumatic stress). Dalam hal ini, pemimpin perguruan tinggi perlu memberikan pemulihan saksi sesuai dengan uraian dalam rekomendasi Satgas PPKS yang sudah mendapat persetujuan saksi.
Pimpinan perguruan tinggi melalui Satgas PPKS perlu memastikan bahwa hak mahasiswa dalam proses pembelajaran dan hak kepegawaian (atau hak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan) pendidik dan tenaga kependidikan, yang menjadi korban kekerasan seksual tidak berkurang karena masa pemulihan mereka.
Pemenuhan hak atas pendidikan atau pekerjaan korban kekerasan seksual perlu dilakukan secara fleksibel sehingga mahasiswa, pendidik, atau tenaga kependidikan yang menjadi korban tetap mendapatkan haknya. Maksud fleksibel tersebut adalah pemenuhan hak atas pendidikan atau pekerjaan korban yang sesuai dengan kebutuhan korban setelah mengalami kekerasan seksual.

Scroll to Top

Survei Layanan LLDikti Wilayah III

Yuk ikut berpartisipasi dalam peningkatan layanan pada LLDikti Wilayah III melalui Survei Kepuasan Masyarakat dan Indeks Persepsi Anti Korupsi

Hubungi kami via Whatsapp